Tafsir Surat An-Naba ( Tafsir Mishbah)


Surah an-Naba'
terdiri dari 40 ayat. Dinamakan surah an-Naba' yang berarti berita besar, diambil dari ayat 2.

(Bagian 1)

Ayat-ayat surah ini disepakati turun sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah. Namanya adalah surah an-Naba'. Ada juga yang menambahkan kata al- 'Azhim. Ia dinamai juga surah 'Amma Yatasa'alun dan ada yang mempersingkatnya dengan menamainya surah 'Amma. Nama-nama yang lain adalah surah at-Tasa’ul juga al-Mu‘shirat. Nama-nama tersebut diangkat dari ayat pertama dan kedua surah ini.

Surah ini mengandung uraian tentang hari kiamat dan bukti-bukti kuasa Allah untuk mewujudkannya. Bukti-bukti utama yang dipaparkan di sini adalah penciptaan alam raya yang demikian hebat serta sistem yang mengaturnya yang kesemuanya menunjukkan adanya pembalasan pada hari tertentu yang ditetapkan-Nya.

Tujuan utama surah ini menurut al-Biqa‘i adalah pembuktian tentang keniscayaan hari kiamat, yang merupakan suatu hal yang tidak dapat diragukan sedikit pun. Allah Sang Pencipta, di samping Maha Bijaksana dan Maha Kuasa, Dia juga mengatur dan mengendalikan manusia sesempurna mungkin.

Dia menyediakan buat mereka tempat tinggal (bumi) yang sesuai bagi kelangsungan hidup mereka dan keturunan mereka. Apa yang Allah sediakan itu demikian sempurna sehingga manusia tidak membutuhkan lagi sesuatu yang tidak tersedia. Itu pulalah yang menciptakan hubungan harmonis antar-sesama. Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Kuasa itu tidak mungkin membiarkan hamba-hamba-Nya hidup saling menganiaya, menikmati rezeki-Nya tetapi menyembah selain-Nya, tanpa melakukan hisab (perhitungan) atas perbuatan-perbuatan mereka.

Apalagi Dia adalah Pemberi Putusan, bahkan sebaik-baik Pemberi putusan. Pengabaian mereka sama sekali tidak dapat diterima akal, bahkan terbetik dalam benak. Perhitungan atas manusia adalah sesuatu yang pasti. Nama surah ini an-Naba’ (berita yang penting) dan 'Amma yatasa'alun menunjukkan dengan sangat jelas tujuan tersebut. Ini terlihat dengan memerhatikan ayat-ayatnya serta awal dan akhir uraiannya. Demikian lebih kurang al-Biqa'i.

Surah ini, menurut beberapa pakar, merupakan surah ke-80 dari segi perurutan turunnya surah-surah al-Qur’an. Ia turun sesudah surah al-Ma'arij dan sebelum surah an-Nazi'at. Jumlah ayat-ayatnya menurut cara perhitungan ulama Madinah, Syam, dan Bashrah sebanyak 40 ayat, sedang menurut cara perhitungan ulama Mekkah dan Kufah sebanyak 41 ayat.

Surah an-Naba' dimulai dengan pertanyaan yang bertujuan menggugah perhatian pembaca dan pendengarnya. Uraian surah ini memberi kesan kehebatan dan kedahsyatan apa yang dibicarakannya. Ayat 1 dan 2 menyatakan: Tentang apakah yang mereka —yakni kaum musyrik atau masyarakat Mekkah secara umum— saling pertanyakan (1) Tentang berita penting yang agung, yang mereka itu berselisih pendapat menyangkut terjadinya (2) Ada yang percaya, ada yang ragu, dan ada juga yang menolaknya (3) Selanjutnya ayat 4 menghardik yang ragu atau menafikan dugaan dengan menegaskan bahwa semua pihak akan mengetahui dengan pasti. Makna serupa diulangi lagi oleh ayat ke-5. 

Selanjutnya, ayat 6 sampai dengan ayat 16 mengemukakan sembilan aneka ciptaan Allah yang terhampar di bumi, yang terbentang di langit, dan yang terdapat dalam diri manusia, yang kesemuanya demikian hebat dan mengagumkan sekaligus menunjukkan kuasa Allah atas segala sesuatu. Itu bermula dengan menyebut bumi yang diciptakan-Nya nyaman bagaikan ayunan (untuk menjadi hunian manusia) (6), gunung-gunung yang ditancapkan-Nya (agar bumi tak oleng) (7), dilanjutkan dengan penciptaan manusia berpasang-pasangan (agar potensi cinta yang terdapat dalam dirinya dapat tersalurkan dan generasi dapat berlanjut (8).

Lalu, tidur yang memutus aktivitas (agar manusia dapat beristirahat) (9), malam yang dijadikan-Nya gelap sehingga menutupi pandangan dan tidur dapat nyenyak (10) dan siang yang dijadikannya terang benderang guna memudahkan mencari sarana kehidupan (11). Dari sana, ayat (12) beralih untuk mengundang perhatian terhadap langit yang berlapis-lapis dengan kokoh, di mana terdapat matahari yang memancarkan cahaya yang demikian benderang (13).

Selanjutnya, diingatkan bahwa dari langit, yakni awan yang mengandung butir-butir air, Allah menurunkan hujan yang deras (14) untuk tumbuhnya aneka biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan (15) serta kebun-kebun yang lebat (16). Selanjutnya, ayat 17 menegaskan bahwa ada hari di mana Allah akan memisahkan yang baik dan yang buruk, memberi putusan terhadap masing-masing, dan hari tersebut memunyai waktu yang telah ditentukan, yakni oleh-Nya sendiri.

Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 1-17

1. Tidak ada alasan untuk meragukan kuasa Allah! Perhatikanlah alam sekeliling! Siapa yang menciptakannya? Tidak mungkin alam itu menciptakan dirinya sendiri. Pelajarilah keharmonisan kerjanya. Pasti akan disadari bahwa yang mengatur keharmonisan itu pastilah Dia Yang Maha Esa lagi Maha Mengetahui.

2. Pelajarilah diri Anda, banyak hal yang belum terungkap, kendati Anda sendiri yang mengalaminya setiap hari. Tidur misalnya, hingga kini belum diketahui bagaimana proses terjadinya.

3. Selanjutnya, apa jadinya jika siang terus-menerus tanpa malam, atau sebaliknya? Allah yang menggilirnya, melakukan hal tersebut demi kepentingan manusia. Jika demikian, bukan hanya cahaya yang baik dan bermanfaat, tetapi juga kegelapan malam. Jangan menggeneralisir seperti halnya orang musyrik atau penyembah api.

4. Perhatikanlah langit betapa indah dan tegarnya. Lihat juga matahari! Tanpa sinarnya yang sesuai kita akan kedinginan atau akan terbakar kepanasan. Bandingkanlah berapa banyak tenaga dan biaya yang diperlukan untuk penerangan jika sinar matahari tidak memancar? Lalu amati air yang diturunkan-Nya dari langit! Bagaimana siklusnya? Bagaimana proses turunnya? Kehidupan di planet tempat kita bermukim, tidak akan berlanjut tanpa air.

5. Setelah sekian banyak ciptaan-Nya yang sengaja diciptakan-Nya untuk kepentingan dan kenyamanan manusia, apakah manusia menduga bahwa ia diciptakan sia-sia? Apakah manusia mengira bahwa tujuan penciptaan hanya pergantian hari dan malam, makan, minum, dan hubungan seks? Mengumpul materi dan meraih kedudukan sosial? Apakah manusia menduga bahwa Allah akan mempersamakan yang baik dan yang buruk? Tidak, karena itu Dia menentukan hari tertentu —di mana semua akan kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan amal-amalnya, sehingga terpisah yang baik dan yang buruk.

Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan siksa bagi para pendurhaka, ayat 31 hingga 36 menguraikan ganjaran orang-orang bertakwa, yakni "Bagi mereka kemenangan yang besar atau masa dan tempat kebahagiaan di surga (yaitu) kemenangan dengan memperoleh keselamatan dan keterbebasan dari bencana serta perolehan kebajikan yang dilengkapi dengan kebun-kebun dan buah-buah anggur, serta gadis-gadis remaja yang baru tumbuh payudaranya, lagi sebaya dengan sesamanya dan/ atau sebaya juga dengan pasangannya. Yang menjadi penghuni surga itu tersedia juga gelas-gelas yang isinya penuh minuman yang sangat lezat. Di surga sana, mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (juga) ucapan dusta. Yang demikian itu adalah ganjaran yang bersumber dari Tuhanmu, wahai Nabi Muhammad, yang merupakan pemberian yang banyak dan memuaskan."

Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 31-36

1. Nikmat surgawi bermacam-macam. Ada yang bersifat jasmani; makanan dan seks, ada juga yang bersifat ruhani; keterbebasan dari perkataan sia-sia dan kebohongan.
2. Ucapan yang tidak memunyai makna lebih-lebih kebohongan adalah sesuatu yang buruk, yang tidak wajar muncul dari orang-orang yang mendambakan surga.
3. Nikmat surgawi bukanlah imbalan amal kebaikan sehingga dapat dituntut, tetapi ia adalah ganjaran yang diterima berkat pemberian Allah. Itu sebabnya ketika berbicara tentang siksa, dinyatakan-Nya: "Balasan yang setimpal" (ayat 26) berbeda dengan ganjaran surga yang dinyatakan-Nya sebagai "Pemberian".
4. Penyebutan kata Tuhanmu dalam konteks pemberian ganjaran (ayat 36) mengisyaratkan betapa tinggi kedudukan Nabi Muhammad saw di sisi Allah swt.

Intisari Kandungan Ayat (ayat 37-40)

Setelah ayat yang lalu menjelaskan aneka ganjaran yang disiapkan Allah, ayat 37 dan seterusnya menjelaskan siapa Allah, bagaimana sikap makhluk kelak jika terjadi kiamat serta sifat kiamat. Ayat 37 menegaskan bahwa Dia yang memberi ganjaran itu adalah Tuhan Pemelihara dan Pengendali langit dan bumi, serta apa yang terdapat antara keduanya, semua makhluk yang berada di alam raya ini tidak memiliki, yakni tidak diberi oleh Allah kemampuan/ wewenang berbicara kepada-Nya.

Ketiadaan wewenang dan kemampuan itu menurut ayat 38 akan sangat jelas terlihat pada hari kiamat, hari ketika ruh, yakni Malaikat Jibril dan para malaikat semuanya, berdiri bershaf-shaf, menghadap-Nya. Mereka tidak berkata-kata, lebih-lebih keberatan atau memohonkan ampunan atau syafaat kepada yang durhaka, kecuali siapa yang telah diberi izin khusus untuk berbicara oleh ar-Rahman, Tuhan Yang Maha Pemurah itu; dan yang diberi izin itu mengucapkan kata yang benar.

Ayat 39 menyatakan bahwa: "Itulah hari yang pasti terjadi dan jika demikian maka siapa yang menghendaki, untuk menelusuri jalan keselamatan—sebelum Jahanam menjadi tempat tinggalnya—maka hendaklah dia sekarang ini juga bersungguh-sungguh menempuh menuju Tuhannya jalan kembali dengan beriman, bertaubat, dan beramal saleh."

Akhirnya, surah ini ditutup oleh ayat 40 dengan firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kamu—hai semua manusia, khususnya yang kafir—tentang siksa yang dekat. Itu akan terjadi pada hari setiap orang melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, yakni amal-amal kebaikan dan keburukannya selama hidup di dunia atau melihat balasan dan ganjarannya.

Orang Mukmin ketika itu akan berkata: "Alangkah baiknya jika aku dibangkitkan sebelum ini." Dan orang kafir akan berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah sehingga tidak dibangkitkan dari kubur atau sama sekali tidak pernah wujud."

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 37-40

1. Allah Penguasa di dunia dan di akhirat. Kekuasaan-Nya di akhirat sangat menonjol sehingga tidak satu pun yang mengingkarinya. Semua takut kepada-Nya, tidak seperti dalam hidup duniawi. Di sana, para malaikat yang dekat kepada-Nya pun tidak dapat berbicara kecuali dengan izin-Nya, maka tentu lebih lebih makhluk durhaka. Mereka pasti akan bungkam.
2. Allah adalah Pemilik, Pemelihara, dan Pengatur alam raya dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Dia bukan sekadar Pencipta, lalu menyerahkan wewenang pengaturan aneka ciptaan-Nya kepada malaikat/ dewa-dewa, baik dipersonifikasi dengan berhala-berhala, maupun tanpa personifikasi (sekadar percaya).
3. Ganjaran, bahkan balasan yang diberikan Allah adalah bagian dari rahmat-Nya, termasuk yang diterima oleh para pendurhaka. Bukankah merupakan rahmat menghukum yang bersalah? Bukankah merupakan rahmat membedakan antara yang baik dan yang buruk?
4. Di hari kemudian, setiap orang akan melihat apa yang dikerjakannya di dunia. Itu dapat berarti melihat dengan mata kepala ganjaran dan balasan amalnya, atau bahkan melihatnya kembali sebagaimana yang terjadi—melebihi cara kita sekarang melihat rekaman peristiwa-peristiwa.
5. Penghuni neraka menyesal —penyesalan yang tidak berguna— mengapa mereka harus diwujudkan di dunia untuk memikul tanggung jawab. Karena itu yang berakal hendaknya menggunakan kesempatan hidupnya di dunia, agar tidak menyesal di Hari Kemudian.
Demikian, Wa Allah A'lam.

Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan siksa bagi para pendurhaka, ayat 31 hingga 36 menguraikan ganjaran orang-orang bertakwa, yakni "Bagi mereka kemenangan yang besar atau masa dan tempat kebahagiaan di surga (yaitu) kemenangan dengan memperoleh keselamatan dan keterbebasan dari bencana serta perolehan kebajikan yang dilengkapi dengan kebun-kebun dan buah-buah anggur, serta gadis-gadis remaja yang baru tumbuh payudaranya, lagi sebaya dengan sesamanya dan/ atau sebaya juga dengan pasangannya. Yang menjadi penghuni surga itu tersedia juga gelas-gelas yang isinya penuh minuman yang sangat lezat. Di surga sana, mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (juga) ucapan dusta. Yang demikian itu adalah ganjaran yang bersumber dari Tuhanmu, wahai Nabi Muhammad, yang merupakan pemberian yang banyak dan memuaskan."

Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 31-36

1. Nikmat surgawi bermacam-macam. Ada yang bersifat jasmani; makanan dan seks, ada juga yang bersifat ruhani; keterbebasan dari perkataan sia-sia dan kebohongan.
2. Ucapan yang tidak memunyai makna lebih-lebih kebohongan adalah sesuatu yang buruk, yang tidak wajar muncul dari orang-orang yang mendambakan surga.
3. Nikmat surgawi bukanlah imbalan amal kebaikan sehingga dapat dituntut, tetapi ia adalah ganjaran yang diterima berkat pemberian Allah. Itu sebabnya ketika berbicara tentang siksa, dinyatakan-Nya: "Balasan yang setimpal" (ayat 26) berbeda dengan ganjaran surga yang dinyatakan-Nya sebagai "Pemberian".
4. Penyebutan kata Tuhanmu dalam konteks pemberian ganjaran (ayat 36) mengisyaratkan betapa tinggi kedudukan Nabi Muhammad saw di sisi Allah swt.

Intisari Kandungan Ayat (ayat 37-40)

Setelah ayat yang lalu menjelaskan aneka ganjaran yang disiapkan Allah, ayat 37 dan seterusnya menjelaskan siapa Allah, bagaimana sikap makhluk kelak jika terjadi kiamat serta sifat kiamat. Ayat 37 menegaskan bahwa Dia yang memberi ganjaran itu adalah Tuhan Pemelihara dan Pengendali langit dan bumi, serta apa yang terdapat antara keduanya, semua makhluk yang berada di alam raya ini tidak memiliki, yakni tidak diberi oleh Allah kemampuan/ wewenang berbicara kepada-Nya.

Ketiadaan wewenang dan kemampuan itu menurut ayat 38 akan sangat jelas terlihat pada hari kiamat, hari ketika ruh, yakni Malaikat Jibril dan para malaikat semuanya, berdiri bershaf-shaf, menghadap-Nya. Mereka tidak berkata-kata, lebih-lebih keberatan atau memohonkan ampunan atau syafaat kepada yang durhaka, kecuali siapa yang telah diberi izin khusus untuk berbicara oleh ar-Rahman, Tuhan Yang Maha Pemurah itu; dan yang diberi izin itu mengucapkan kata yang benar.

Ayat 39 menyatakan bahwa: "Itulah hari yang pasti terjadi dan jika demikian maka siapa yang menghendaki, untuk menelusuri jalan keselamatan—sebelum Jahanam menjadi tempat tinggalnya—maka hendaklah dia sekarang ini juga bersungguh-sungguh menempuh menuju Tuhannya jalan kembali dengan beriman, bertaubat, dan beramal saleh."

Akhirnya, surah ini ditutup oleh ayat 40 dengan firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kamu—hai semua manusia, khususnya yang kafir—tentang siksa yang dekat. Itu akan terjadi pada hari setiap orang melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, yakni amal-amal kebaikan dan keburukannya selama hidup di dunia atau melihat balasan dan ganjarannya.

Orang Mukmin ketika itu akan berkata: "Alangkah baiknya jika aku dibangkitkan sebelum ini." Dan orang kafir akan berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah sehingga tidak dibangkitkan dari kubur atau sama sekali tidak pernah wujud."

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 37-40

1. Allah Penguasa di dunia dan di akhirat. Kekuasaan-Nya di akhirat sangat menonjol sehingga tidak satu pun yang mengingkarinya. Semua takut kepada-Nya, tidak seperti dalam hidup duniawi. Di sana, para malaikat yang dekat kepada-Nya pun tidak dapat berbicara kecuali dengan izin-Nya, maka tentu lebih lebih makhluk durhaka. Mereka pasti akan bungkam.
2. Allah adalah Pemilik, Pemelihara, dan Pengatur alam raya dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Dia bukan sekadar Pencipta, lalu menyerahkan wewenang pengaturan aneka ciptaan-Nya kepada malaikat/ dewa-dewa, baik dipersonifikasi dengan berhala-berhala, maupun tanpa personifikasi (sekadar percaya).
3. Ganjaran, bahkan balasan yang diberikan Allah adalah bagian dari rahmat-Nya, termasuk yang diterima oleh para pendurhaka. Bukankah merupakan rahmat menghukum yang bersalah? Bukankah merupakan rahmat membedakan antara yang baik dan yang buruk?
4. Di hari kemudian, setiap orang akan melihat apa yang dikerjakannya di dunia. Itu dapat berarti melihat dengan mata kepala ganjaran dan balasan amalnya, atau bahkan melihatnya kembali sebagaimana yang terjadi—melebihi cara kita sekarang melihat rekaman peristiwa-peristiwa.
5. Penghuni neraka menyesal —penyesalan yang tidak berguna— mengapa mereka harus diwujudkan di dunia untuk memikul tanggung jawab. Karena itu yang berakal hendaknya menggunakan kesempatan hidupnya di dunia, agar tidak menyesal di Hari Kemudian.
Demikian,

Wa Allah A'lam.
Share this article :

+ komentar + 2 komentar

20 Agustus 2017 pukul 08.37

Mantap... Syukronn

7 November 2018 pukul 19.07

Suwun... Infonya

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Waroeng Mukhtasor - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger