SIAPA JOKOWI?


Ir. Joko Widodo (lahir di Surakarta, 21 Juni 1961; umur 50 tahun)[1], lebih dikenal dengan nama julukan JokoWi, adalah walikota Kota Surakarta (Solo) untuk dua kali masa bakti 2005-2015. Wakil walikotanya adalah F.X. Hadi Rudyatmo. Ia dicalonkan oleh PDI-P[2]. Jokowi meraih gelar insinyur dari Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 1985.[1] Ketika mencalonkan diri sebagai walikota, banyak yang meragukan kemampuan pria yang berprofesi sebagai pedagang mebel rumah dan taman ini; bahkan hingga saat ia terpilih.[3] Namun setahun setelah ia memimpin, banyak gebrakan progresif dilakukan olehnya.
Ia banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering ia kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya. Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Branding untuk kota Solo dilakukan dengan menyetujui slogan Kota Solo yaitu “Solo: The Spirit of Java”. Langkah yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat.
Taman Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya. Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran. Oleh Majalah Tempo, Joko Widodo terpilih menjadi salah satu dari “10 Tokoh 2008″. Ia pun telah terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 dengan Basuki Tjahaja Purnama, mantan bupati Kabupaten Belitung Timur.
Menjadi Walikota Dengan Niat Yang Mulia. Biasa saja. Saya pikir tidak ada yang perlu disikapi berlebihan dengan jabatan yang saya pegang sekarang ini. Yang jelas, tanggung jawab saya sekarang menjadi sangat berat. Karena saya mengemban amanah dari masyarakat Solo untuk memimpin mereka menuju Solo yang lebih baik, maju dan mensejahterahkan seluruh lapisan masyarakat. Amanah itu saya terima dengan senang hati dan dengan penuh tanggung jawab.
Demikian kalimat-kalimat bernada filosofis tinggi yang meluncur dari mulut Ir. H. Joko Widodo ketika menjawab pertanyaan Kabar UGM, tentang kesannya sebagai Walikota Solo. Ungkapan tersebut menggambarkan secara plastis kerendahatian sang walikota, yang lebih popular disebut Pak Jokowi. Kerendahatian Pak Jokowi, ternyata, bukan hanya sekadar rangkaian kata-kata saja. Ia bisa dirasakan juga oleh rakyat kecil. Dengarlah komentar para tukang becak di pinggir jalan utama kota Solo. Pak Jokowi sangat dekat dengan masyarakat Solo lapis bawah. Dia sangat lekat di hati masyarakat Solo, ujar seorang tukang becak. Bagi masyarakat Solo, Pak Jokowi adalah seorang pemimpin yang sangat peduli dengan kehidupan mereka.
Mereka menemukan keperibadian yang sangat menarik pada diri Pak Jokowi: mau merangkul mereka membangun Solo. Lebih dari itu, mereka sering kali menerima sembako gratis dari Pak Jokowi. Sebelum menjadi walikota, Pak Jokowi dikenal sebagai seorang pengusaha yang bergerak di bidang mebel. Saya eksportir mebel. Aktivitas saya yang lain ya,berorganisasi. Terakhir saya adalah ketua ASMINDO Surakarta, ujar laki-laki kelahiran 21 Juni 1961 ini. *** Pak Jokowi adalah lulusan Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985.
Dia masuk ke Fakultas Kehutanan UGM bertolak dari keinginannya sendiri untuk menjadi tukang kayu. Kebetulan orangtuanya menekuni bisnis perkayuan, Orangtua saya tukang kayu, sehingga ada bau-bau kayunya, kata Pak Jokowi tersenyum. Saat menjadi mahasiswa, Jokowi muda sudah belajar hidup prihatin. Prinsip hidup ini menjadi pengalaman berharga buat dirinya dalam berwirausaha, Saya kuliah ketika kemampuan ekonomi orangtua tidak hanya terbatas tetapi minus.
Karena itu, saya memacu diri supaya tetap bersemangat belajar dan cepat lulus. Maklum, kalau kuliah semakin lama ongkos yang dikeluarkan kan semakin banyak. Kuliah di kehutanan UGM bagi saya sesuatu yang menyenangkan, mengingat saya memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang turun temurun menggeluti perkayuan.
Dukanya ya, sebagai mahasiswa yang ekonominya minus, saya harus berhitung betul soal pengeluaran. Kalau ingin apa ya harus mikir bener karena keterbatasan yang ada. Tetapi, ternyata kebiasaan kuliah itu sangat bermanfaat ketika saya sudah menggeluti dunia bisnis, kata eksportir mebel ini. Melihat posisi Pak Jokowi sekarang, bisa saja kita berpikir bahwa sewaktu kuliah dulu Pak Jokowi menjadi aktivis mahasiswa. Bukankah sudah jamak bahwa mahasiswa yang pernah menjadi aktivis ketika kuliah terjun ke dunia politik? Ternyata perkiraan kita keliru. Semasa kuliah dulu, Pak Jokowi lebih senang ikut kegiatan-kegiatan minat dan bakat seperti naik gunung dan sebagainya. Kegiatan mahasiswa saya naik gunung, main basket dan camping, ujar lulusan SDN 111 Tirtoyoso Solo ini. Setelah menjadi Sarjana Kehutanan UGM, Pak Jokowi tidak langsung bekerja di Solo.
Dia merantau dulu ke Aceh.  Setelah lulus dari Fakultas Kehutanan UGM saya bekerja di sebuah BUMN di Aceh. Kemudian saya kembali ke Solo dan bekerja di CV. Roda Jati, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan. Sekitar tahun 1998, saya kemudian berusaha secara mandiri di bidang permebelan, khususnya sebagai eksportir. Alhamdulillah, setelah mengalami jatuh bangun di sana, bisnis yang saya tekuni ini mampu memberi kehidupan bagi saya dan keluarga,  kata suami Iriana ini. *** Sekalipun Pak Jokowi tidak pernah menjadi aktivis mahasiswa sewaktu menjadi mahasiswa dulu, tidak berarti dia buta politik.
Dia juga bukan menabukan dirinya mengikuti politik praktis. Dia malah bersedia terjun ke dunia politik praktis. Semua orang bisa saja terjun ke dunia politik. Saya memang ikut berpartisipasi dalam proses pilkada di Surakarta, karena ada permintaan-permintaan serius dari elemen dan komponen masyarakat. Untuk menjadi wali kota, memang saya harus punya partai yang membawa saya,  tutur lulusan SMPN 1 Solo ini. Lalu, apa yang mendorong Pak Jokowi mencalonkan dirinya jadi Walikota Solo? Sebagai alumnus Fakultas Kehutanan UGM yang bergerak ke bidang politik, memang saya punya obsesi dan alasan. Pertama, saya sangat serius untuk maju.
Saya ingin mengakomodasikan aspirasi-aspirasi serius yang muncul dari banyak pihak, baik secara pribadi maupun secara kelompok atau organisasi. Yang kedua, saya ingin bersama-sama seluruh komponen masyarakat membawa Solo ke arah yang lebih baik, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Yang ketiga, saya ingin pemerintahan ini diurus secara clean, jernih, tegas dan tanpa kompromi, sehingga good governance dan clean goverment benar-benar terwujud, tambah lulusan SMAN 6 Solo ini. Setelah menjadi walikota, Pak Jokowi menyadari bahwa banyak kalangan masyarakat yang kesulitan ekonomi akibat krisis moneter yang tak kunjung selesai ditambah kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM.
Dia pun langsung bertekad mengantisipasi keadaan ini. Dia segera berusaha mensejahterakan masyarakat Solo yang dipimpinnya, Saya kira di tempat kita (Solo-red), yang jelas kita berusaha bagaimana menarik investasi yang sebesar-besarnya dalam rangka memberikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya pada masyarakat. Caranya dengan pemberian layanan perizinan.
Bila dulu, perizinan akan keluar selama kurang lebih 6 bulan, sekarang ini urusan perizinan bisa selesai dalam tempo 4-6 hari. Ini terobosan yang kita lakukan,  kata bapak dari Gibran Rakabumi Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep ini. *** Sampai sekarang, sudah 21 tahun Pak Jokowi meninggalkan kampus biru. Selama itu, dia tidak tahu banyak perkembangan yang terjadi di UGM. Dia juga tidak tahu kalau almamaternya telah menjadi PT. BHMN, Terus terang saya kurang mengikuti perkembangan ketika UGM menjadi PT. BHMN. Menurut saya, apapun statusnya, yang penting di era globalisasi seperti saat ini, UGM selain harus mampu mengikuti trend sebagai sebuah perguruan tinggi yang mampu bersaing di tingkat global, juga jangan sampai meninggalkan roh-nya sebagai perguruan tinggi yang berorientasi kerakyatan.
Karena orientasi inilah dulu UGM kerap disebut dengan istilah universitas ndeso. Orientasi itulah yang membuat UGM dan lulusannya bisa mengakar dan selalu nyambung dengan persoalan-persoalan kerakyatan. Sesuatu yang saya kira telah membuat nama UGM disegani hingga kini,  ungkap Pak Jokowi. Mungkin karena rasa cintanya pada UGM, Pak Jokowi kemudian mengusulkan agar UGM menjadi entrepreneurship university.  Selain itu UGM harus mulai dikembangkan kearah Entrepreneurship University, dimana mahasiswa yang lulus dari UGM tidak lagi mencari pekerjaan, tetapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, tambahnya. Akhirnya, Pak Jokowi berpesan kepada mahasiswa UGM, agar mereka menyiapkan pengetahuan yang banyak dan mental yang kuat selama belajar di UGM.
Tantangan yang dihadapi adik-adik saya para mahasiswa di masa depan bakal lebih berat dibandingkan tantangan generasi saya dulu. Karena itu, tidak ada kata lain kecuali menyiapkan pengetahuan, keterampilan, mental dan semangat juang yang prima untuk bisa menghadapi tantangan tersebut, tambahnya (wawancara dan penulisan: Gusti Grehenson; editing: Abrar). .Kisah Hidup Jokowi Masa kecil Jokowi bukanlah orang yang berkecukupan, bukanlah orang kaya. Ia anak tukang kayu, nama bapaknya Noto Mihardjo, hidupnya amat prihatin, dia besar di sekitar Bantaran Sungai.
Ia tau bagaimana menjadi orang miskin dalam artian yang sebenarnya. Bapaknya penjual kayu di pinggir jalan, sering juga menggotong kayu gergajian. Ia sering ke pasar, pasar tradisional dan berdagang apa saja waktu kecil. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pedagang dikejar-kejar aparat, diusiri tanpa rasa kemanusiaan, pedagang ketakutan untuk berdagang. Ia prihatin, ia merasa sedih kenapa kota tak ramah pada manusia. Sewaktu SD ia berdagang apa saja untuk dikumpulkan biaya sekolah, ia mandiri sejak kecil tak ingin menyusahkan bapaknya yang tukang kayu itu.
Ia mengumpulkan uang receh demi receh dan ia celengi di tabungan ayam yang terbuat dari gerabah. Kadang ia juga mengojek payung, membantu ibu-ibu membawa belanjaan, ia jadi kuli panggul. Sejak kecil ia tau bagaimana susahnya menjadi rakyat, tapi disini ia menemukan sisi kegembiraannya. Ia sekolah tidak dengan sepeda, tapi jalan kaki. Ia sering melihat suasana kota, di umur 12 tahun dia belajar menggergaji kayu, tangannya pernah terluka saat menggergaji, tapi ia senang dan ia gembira menjalani kehidupan itu, baginya “Luwih becik rengeng-rengeng dodol dawet, tinimbang numpak mercy mbrebes mili”. Keahliannya menggergaji kayu inilah yang kemudian membawanya ingin memahami ilmu tentang kayu. Lalu ia berangkat ke Yogyakarta, ia diterima di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, jurusan kehutanan.
Ia pelajari dengan tekun struktur kayu dan bagaimana pemanfaatannya serta teknologinya. Di masa kuliah ia jalani dengan amat prihatin, karena tak ada biaya hidup yang cukup. Kuliahnya disambi dengan kerja sana sini untuk biaya makan, ia sampai lima kali indekost karena tak mampu biaya kost dan mencari yang lebih murah. Hidup dengan prihatin membawanya pada situasi disiplin, Jokowi mampu menerjemahkan kehidupan prihatinnya lewat bahasa kemanusiaan, bahwa dalam kondisi susah orang akan menghargai tindakan-tindakan manusiawi, disinilah Jokowi belajar untuk rendah hati.
Setamat kuliah ia tetap menjadi tukang gergaji kayu, tapi ia sudah memiliki wawasan, ia melihat industri kayu berkembang pesat, ia mendalami mebel. Disini ia pertaruhkan segalanya, rumah kecil satu-satunya bapaknya ia jaminkan ke Bank.
Dan ia berhasil, ia bukan saja tapi ia juga pengambil resiko yang cerdas, ia berhasil dari sebuah bengkel mebel dengan gedek disamping pasar yang kumuh berhasil dikembangkan. Ia menangis ketika pekerja-pekerjanya bisa makan. Suatu saat ia kedatangan orang Jerman bernama Micl Romaknan, orang Jerman ini kebetulan tidak membawa grader (ahli nilai) kayu, ia ngobrol dengan Jokowi, kata orang Jerman itu : “Wah, di Jepara saya ketemu orang namanya Joko, baiklah kamu kunamakan saja Djokowi, kan mirip Djokovich” akhirnya terciptalah sebuah nickname Jokowi yang melegenda itu. Perkembangan bisnisnya bagus, ia dipercaya kerna ia jujur, orang Jerman suka dengan orang yang jujur dan pekerja keras, Jokowi hanya tidur 3 jam sehari, selebihnya adalah kerja.
Ia tak pernah makan uang dari memeras atau pungli, ia makan dari keringatnya sendiri. Dengan begitu hidupnya berkah. Jokowi berhasil mengekspor mebel puluhan kontainer dan ia berjalan-jalan di Eropa. Tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang mengunjungi Eropa dengan cara hura-hura atau foto sana, foto sini tanpa memahami hakikat masyarakatnya. Jokowi di Eropa berpikir reflektif. “Kenapa kota-kota di Eropa, kok sangat manusiawi, sangat tinggi kualitasnya baik kualitas penghargaan terhadap ruang gerak masyarakat sampai dengan kualitas terhadap lingkungan” lama ia merenung ini, akhirnya ia menemukan jawabannya “Ruang Kota dibangun dengan Bahasa Kemanusiaan, Bahasa Kerja dan Bahasa Kejujuran”.
Tiga cara itulah yang kemudian dikembangkan setelah ia menduduki jabatan di Solo. Setelah sukses di bisnis, Jokowi berpikir “Bagaimana ia bisa berterima kasih pada bangsanya” lalu ia mendapatkan jawabannya, bahwa contoh terbaik untuk berterima kasih adalah menjadi pemimpin rakyat yang bertanggung jawab. Lalu ia masuk ke dalam dunia politik dengan seluruh rasa tanggung jawab. Pertanggung jawaban politiknya adalah pertanggungjawaban moral bukan karena ia mencari hidup dalam dunia politik, ia ikhlas dalam bekerja, baginya inilah cara berterima kasih pada bangsanya. Ia masuk ke dalam dunia politik, awalnya tidak dipercaya, karena sosoknya lebih mirip tukang becak alun-alun kidul tinimbang seorang gagah yang hebat, dalam masyarakat kita, sosok dengan ‘bleger’ yang besar lebih diambil hati ketimbang orang dengan sosok kurus, ceking dan tak berwibawa itulah yang dialami Jokowi, tapi beruntung bagi Jokowi, saat itu masyarakat Solo sedang bosan dengan pemimpin lama yang itu itu saja, mereka mencoba sesuatu yang baru. Akhirnya Jokowi menang tipis. Masyarakat mempercayainya dan ia menjawabnya dengan “Kerja” ia siang malam bekerja untuk kotanya, ia datangi tanpa lelah rakyatnya, ia resmikan gapura-gapura pinggir jalan, ia hadir pada selamatan-selamatan kecil, ia terus diundang bahkan untuk meresmikan pos ronda sebuah RW sekalipun.
Ia bekerja dari akarnya sehingga ia mengerti anatomi masyarakat. Suatu hari Jokowi didatangi Kepala Satpol PP. Kepala Satpol itu meminta pistol karena ada perintah pemberian senjata dari Mendagri. Jokowi meradang dan menggebrak meja “Gila apa aku menembaki rakyatku sendiri, memukuli rakyatku sendiri…keluar kamu…!!” kepala Satpol PP itupun dipecat dan diganti dengan seorang perempuan, pesan Jokowi pada kepala Satpol PP perempuan itu “Kerjalan dengan bahasa cinta, kerna itu yang diinginkan setiap orang terhadap dirinya, cinta akan membawa pertanggungjawaban, masyarakat akan disiplin sendiri jika ia sudah mengenal bagaimana ia mencintai dirinya, lingkungan dan Tuhan. Dari hal-hal inilah Jokowi membangun kota-nya, membangun Solo dengan bahasa cinta….”.
Apakah di Jakarta ia tak bakalan mampu? banyak yang nyinyir bahwa Solo bukan Jakarta. Tapi apa kata Jokowi “Hidup adalah tantangan, jangan dengarkan omongan orang, yang penting kerja, kerja dan kerja. Kerja akan menghasilkan sesuatu, sementara omongan hanya menghasilkan alasan” Jokowi berangkat dalam alam paling realistisnya. Kepemimpinan yang realistis, bertanggungjawab dan kredibel. Beruntung Indonesia masih memiliki Jokowi, pada Jokowi : “Merah Putih ada harapan berkibar kembali dengan rasa hormat dan bermartabat sebagai bangsa.
SUMBER : http://gubernurdki.wordpress.com/
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Waroeng Mukhtasor - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger